ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH
I. Pendahuluan
Dalam rangka
mewujudkan masyarakat
yang adil, makmur, dan sejahtera
pemerintah perlu menyelenggarakan
pembangunan dalam segala aspek. Salah satu upaya pembangunan dalam
kerangka pembangunan nasional yang diselenggarakan Pemerintah adalah
pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam melaksanakan program pembangunan, baik
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat memerlukan sumber daya, yang
diantaranya adalah tanah.
Kepentingan
Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan
oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[1] Salah satu cara untuk
mewujudkan kepentingan umum tersebut dilakukan dengan pengadaan tanah.
Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.[2]
Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan
tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang berhak. Penyelenggaraan pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum dilaksanakan
oleh Pemerintah yang dalam hal ini
diwakili oleh instansi-instansi pemerintah. Instansi
penyelenggara
pengadaan tanah untuk kepentingan
umum adalah lembaga negara, kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus
Pemerintah. Objek Pengadaan Tanah
tersebut adalah tanah,
ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang
berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
Dalam pengadaan
tanah, tidak dapat dilepaskan dengan adanya pajak. Pajak adalah kontribusi
wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peraturan induk tentang
jenis-jenis pajak yang berkaitan dengan pengadaan tanah diatur secara
terpisah-pisah dalam peraturan perundang-undangan, yaitu :
a.
Undang-Undang no.
7
Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana
Telah Diubah
Dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008
b. Undang Undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana
terakhir diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang
Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
c. Undang undang No. 20 Tahun 1997
sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea perolehan atas Tanah
dan Bangunan
Pelaksanaan masing-masing
dari Undang-Undang tersebut telah diatur secara teknis dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah dari Peraturan Pemerintah sampai dengan peraturan dirjen pajak.
II.
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang
diatas, ditarik permasalahan-permasalahan aspek pajak dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
sebagai berikut :
1.
Jenis
pajak apa yang dikenakan dalam pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh
pemerintah untuk kepentingan umum.
2. Berapakah tarif pajak atas
pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut.
III. Pembahasan
Peraturan
tentang pajak tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, tidak kecuali peraturan tentang pajak dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Pajak yang terkait dengan pengadaan tanah adalan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Bea Perolehan atas Hak
Tanah dan Bangunan. Tinjauan atas pajak-pajak yang terkait dengan pengadaan
tanah tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN)
PPN
diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Undang-undang tentang PPN tersebut dalam
perkembangannya telah mengalami tiga
kali perubahan yaitu :
·
UU No. 11
Tahun 1994, telah diubah dengan
·
UU No. 18
Tahun 2000, telah diubah terakhir dengan
·
UU No. 42
Tahun 2009.
PPN
adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai
dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen atau secara
cuma-cuma/hadiah. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, karena pajak
tersebut disetor oleh pihak lain sebagai pemungut, yang bukan penanggung pajak.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan
PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan
pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual
produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh, atau membuat produknya
Obyek
PPN menurut pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1983 adalah
a.
penyerahan Barang Kena Pajak
di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan
Jasa Kena Pajak
di dalam Daerah yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan
Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor
Barang Kena Pajak
Berwujud oleh Kena Pajak;
g. ekspor
Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud oleh Kena Pajak; dan
h. ekspor
Jasa Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak.
Tarif
pajak pertambahan nilai yang dianut di Indonesia adalah
tarif tunggal yaitu 10% (sepuluh persen). Tarif pajak sebagaimana tersebut dapat
diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima
belas persen) yang perubahan tarifnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu tarif PPN sebesar 0% dapat
dikenakan atas :
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
Jenis barang
yang tidak dikenai Pajak Pertambahan
Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut [3]:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya;
b.
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa
boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat
berharga.
Dengan demikian berdasarkan kelompok
pengecualian diatas, PPN tidak termasuk dalam pajak yang dikecualikan untuk
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sehingga atas pengadaan tanah untuk
kepentingan umum wajib dikenakan PPN.
2.
Pajak Penghasilan Final (PPh Final)
Pajak
penghasilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana beberapa
kali mengalami perubahan yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994
c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000
Pengertian
penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun.[4]
Pajak
penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan
yang diterima dalam tahun pajak. Oleh karena itu Pajak Penghasilan melekat pada
subyeknya.[5] Pajak Penghasilan termasuk salah
satu jenis pajak subjektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia
menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan,
subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib
Pajak. Demikian pula atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, terutang
Pajak Penghasilan dan dalam hal ini yang bersifat final.[6]
Beberapa
peraturan tentang Pengenaan pajak Penghasilan yang berkaitan dengan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum dapat ditemui dalam peraturan-peraturan sebagai
berikut :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah
dan atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008,
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 635/KMK.04/1994
tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008,
c. Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER – 28/PJ/2009, 20
April 2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor
71 tahun 2008 tentang Perubahan ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun
1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
Atas Tanah dan atau Bangunan.
Jenis penghasilan dari transaksi dan subyek atas pengalihan hak atas
tanah dan bangunan yang dapat dikenakan PPh, menurut PP No. 48 Tahun 1994 sebagaimana diubah dengan PP No. 71
Tahun 2008 adalah:
a.
Pasal 1
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
(2) Pengalihan hak atas
tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1) adalah:
a. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan
hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
b.
Pasal 2 ayat
1 yang menyatakan Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang.
Pengalihan
hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas
tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b dipungut Pajak Penghasilan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pengalihan.[7] Pengecualian atas pemungutan
pajak tersebut adalah adalah orang
pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus. [8]
Persyaratan khusus tersebut adalah jalan umum, saluran pembuangan
air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan
fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar
dan bencana lainnya, serta fasilitas Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Negara Republik Indonesia.[9] Sedangkan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum diluar yang memenuhi persyaratan khusus/yang
dikecualikan tetap dikenakan PPh.
Pengecualian
lain kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah Penghasilan Tidak Kena pajak (PTKP), yaitu Orang pribadi
yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah
bruto pengalihan kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.[10]
Tarif
atas Pajak penghasilan pengalihan hak atas tanah dan bangunan untuk kepentingan
umum oleh pemerintah, ditentukan dalam pasal 4 ayat 1 dan ayat 2
huruf b PP No. 71 Tahun 2008. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana
untuk pengalihan atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 5% (lima persen)
dari nilai yang ditetapkan oleh pejabat yang bersangkutan.
3.
Bea
Perolehan Hak katas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB
diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun
2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Disamping itu, BPHTB juga diatur dalam
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pada pasal 85 s.d. 93.
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.[11] Subjek pajak
BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan atau dengan kata lain adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik
itu badan mapupun orang pribadi.[12]
Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak akan menjadi wajib pajak. Sedangkan Obyek BPHTB adalah perolehan
hak atas tanah atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan
hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan
pemberian hak baru Perolehan hak tersebut, yang meliputi : [13]
a.
Pemindahan hak
1)
Jual beli,
2)
Tukar
menukar,
3)
Hibah yaitu
penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah atau bangunan
kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,
4)
Hibah
wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang
berlaku setalah pemberi hibah meninggal dunia,
5)
Waris yaitu
pengalihan hak yang dilakukan terhadap tanah dan atau bangunan dalam garis
keturunan lurus,
6)
Pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan dari orang pribadi atau kepada badan hukum lainnya,
7)
Pemisahan
yang menyebabkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang
hak bersama,
8)
Pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu peralihan hak dari
orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang
ditentukan dalam putusan hakim tersebut,
9)
Penunjukkan
pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang
sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang,
10) Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan
usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung,
11) Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau
lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi
badan-badan usaha yang bergabung tersebut,
12) Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu usaha menjadi
dua usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan
sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan
tanpa likuidasi badan usaha yang lama,
13) Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan
hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum
kepada penerima hadiah.
b. Pemberian
hak baru.
1) Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru
atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang
berasal dari pelepasan hak,
2) Diluar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas
tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak
milik menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).[14] Nilai Perolehan
Objek Pajak dalam hal :[15]
a.
jual beli adalah harga transaksi;
b.
tukar menukar adalah nilai pasar;
c.
hibah adalah nilai pasar;
d.
hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.
waris adalah nilai pasar;
f.
pemasukan dalam peseroan atau badan hokum lainnya adalah nilai pasar;
g.
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar
pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.
pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah
Jika harga tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang
digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan maka Dasar Pengenaan Pajak DPP yang dipakai adalah NJOP.[16]
Pasal 7 UU NO. 21 Tahun 1997 menyatakan bahwa pemerintah
menentukan suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besarnya
NPOPTKP adalah paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 untuk setiap
wajib pajak.[17]
Kemudian untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan
paling rendah Rp. 300.000.000,00. [18]
Tarif BPHTB
menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000
Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 88 disebutkan bahwa
tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Berdasarkan pasal 85 ayat 4 huruf b UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa Objek pajak yang tidak dikenakan
Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh negara untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan
umum.
IV. Penutup
Pengenaan Pajak atas
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, diatur secara terpisah-pisah dalam
berbagai perturan perundang-undangan. Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum
oleh instansi pemerintah wajib dikenakan PPN, hal ini seturut pasal 4 UU No.42
Tahun 2009 dimana Pengadaan Tanah untuk
kepentingan umum tidak termasuk dalam golongan yang dikecualikan untuk
dikenakan PPN. Tarif dalam pengenaan PPN tersebut adalah adalah tarif tunggal
yaitu 10% (sepuluh persen).
Atas Pajak
penghasilan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dikenakan PPh dengan beberapa pengecualian. Pengecualian
tersebut adalah :
1. Pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. Persyaratan khusus tersebut adalah jalan umum, saluran pembuangan air, waduk,
bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan fasilitas
keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan
bencana lainnya, serta fasilitas Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
2. Kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah Penghasilan Tidak Kena pajak
(PTKP), yaitu Orang pribadi
yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah
bruto pengalihan kurang dari Rp. 60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah
yang dipecah-pecah.[19]
Tarif atas Pajak penghasilan
pengalihan hak atas tanah dan bangunan menurut pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 huruf
b PP No. 71 Tahun 2008 adalah 5% (lima persen) dari nilai yang ditetapkan oleh
pejabat yang bersangkutan.
Atas BPHTB, pasal 85 ayat 4
huruf b UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa Objek pajak yang tidak dikenakan
Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan
umum.
[1] Perpres
No. 30 Tahun 2015
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 1
ayat 7
[3] Undang
Undang No. 42 Tahun 2009 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pasal 4
[4] Undang Undang No.
36 tahun 2008
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan Pasal 4
[5] Undang Undang No.
7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
Sebagaimana Telah Diubah
Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008 Pasal 1
[6] Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
[7] Peraturan Pemerintah
No. 48 Tahun 1994
Pembayaran
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan Pasal 3 Ayat 1
[8] Peraturan Pemerintah
No.
71 Tahun 2008
Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
pasal 5 huruf b
Comments
Post a Comment