ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH





I.       Pendahuluan
Dalam  rangka  mewujudkan  masyarakat  yang adil, makmur, dan sejahtera pemerintah perlu menyelenggarakan pembangunan dalam segala aspek. Salah satu upaya pembangunan dalam kerangka pembangunan nasional yang diselenggarakan Pemerintah adalah pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam melaksanakan program pembangunan, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat memerlukan sumber daya, yang diantaranya adalah tanah.
Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[1] Salah satu cara untuk mewujudkan kepentingan umum tersebut dilakukan dengan pengadaan tanah. Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.[2]
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan   tanah   bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang berhak. Penyelenggaraan pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan  oleh Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh instansi-instansi pemerintah. Instansi  penyelenggara pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah  lembaga  negara,  kementerian  dan lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah. Objek  Pengadaan  Tanah  tersebut adalah  tanah,  ruang  atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
Dalam pengadaan tanah, tidak dapat dilepaskan dengan adanya pajak. Pajak adalah  kontribusi  wajib kepada  negara  yang terutang oleh  orang pribadi   atau   badan    yang   bersifat   memaksa   berdasarkan    Undang- Undang,    dengan   tidak    mendapatkan    imbalan    secara    langsung dan digunakan untuk    keperluan     negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peraturan induk tentang jenis-jenis pajak yang berkaitan dengan pengadaan tanah diatur secara terpisah-pisah dalam peraturan perundang-undangan, yaitu :
a.   Undang-Undang  no.   7 Tahun   1983  tentang  Pajak  Penghasilan   Sebagaimana Telah  Diubah Dengan  Undang-Undang nomor  36 Tahun 2008
b.   Undang Undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
c.   Undang undang No. 20 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea perolehan atas Tanah dan Bangunan
Pelaksanaan masing-masing dari Undang-Undang tersebut telah diatur secara teknis  dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah sampai dengan peraturan dirjen pajak.

II.      Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, ditarik permasalahan-permasalahan aspek pajak dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagai berikut :
1.    Jenis pajak apa yang dikenakan dalam pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk kepentingan umum.
2.    Berapakah tarif pajak atas pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut.

III.    Pembahasan
Peraturan tentang pajak  tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tidak kecuali peraturan tentang pajak dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pajak yang terkait dengan pengadaan tanah adalan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan. Tinjauan atas pajak-pajak yang terkait dengan pengadaan tanah tersebut adalah sebagai berikut:
1.   Pajak Pertambahan Nilai (PPN)        
PPN diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan  Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.  Undang-undang tentang PPN tersebut dalam perkembangannya  telah mengalami tiga kali perubahan yaitu :
·            UU No. 11 Tahun 1994, telah diubah dengan
·            UU No. 18 Tahun 2000, telah diubah terakhir dengan
·            UU No. 42 Tahun 2009.
PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen atau secara cuma-cuma/hadiah. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, karena pajak tersebut disetor oleh pihak lain sebagai pemungut, yang bukan penanggung pajak.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya
Obyek PPN menurut pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1983 adalah
a.    penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b.   impor Barang Kena Pajak;
c.    penyerahan  Jasa  Kena  Pajak  di  dalam  Daerah yang dilakukan oleh pengusaha;
d.   pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.   pemanfaatan  Jasa  Kena  Pajak  dari  luar  Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f.    ekspor    Barang    Kena    Pajak    Berwujud    oleh Kena Pajak;
g.   ekspor  Barang  Kena  Pajak  Tidak  Berwujud  oleh Kena Pajak; dan
h.   ekspor  Jasa  Kena  Pajak  oleh  Pengusaha  Kena Pajak.
Tarif pajak pertambahan nilai yang dianut di Indonesia adalah tarif tunggal yaitu 10% (sepuluh persen).  Tarif pajak sebagaimana tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu tarif PPN sebesar 0% dapat dikenakan atas :
a.    ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.   ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c.   ekspor Jasa Kena Pajak.
Jenis barang yang  tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut [3]:
a.    barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung  dari sumbernya;
b.    barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c.    makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d.   uang, emas batangan, dan surat berharga.
Dengan demikian berdasarkan kelompok pengecualian diatas, PPN tidak termasuk dalam pajak yang dikecualikan untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sehingga atas pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib dikenakan PPN.

2.   Pajak Penghasilan Final (PPh Final)
Pajak penghasilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana beberapa kali mengalami perubahan yaitu :
a.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
b.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
c.      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.[4]
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Oleh karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya.[5] Pajak Penghasilan termasuk salah satu jenis pajak subjektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Demikian pula atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, terutang Pajak Penghasilan dan dalam hal ini yang bersifat final.[6]
Beberapa peraturan tentang Pengenaan pajak Penghasilan yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat ditemui dalam peraturan-peraturan sebagai berikut :
a.      Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008,
b.      Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008,
c.      Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER – 28/PJ/2009, 20 April 2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 tentang Perubahan ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.
Jenis penghasilan dari transaksi dan subyek atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dapat dikenakan PPh, menurut  PP No. 48 Tahun 1994 sebagaimana diubah dengan PP No. 71 Tahun 2008 adalah:
a.      Pasal 1
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
(2) Pengalihan  hak  atas  tanah  dan/atau  bangunan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) adalah:
a.    penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b.    penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
c.    penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
b.      Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang.
Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b dipungut Pajak Penghasilan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pengalihan.[7] Pengecualian atas pemungutan pajak tersebut adalah adalah  orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. [8]
Persyaratan khusus tersebut adalah jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia.[9] Sedangkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diluar yang memenuhi persyaratan khusus/yang dikecualikan tetap dikenakan PPh.
Pengecualian lain kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah Penghasilan Tidak Kena pajak (PTKP), yaitu  Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP  yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp.  60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.[10]
Tarif atas Pajak penghasilan pengalihan hak atas tanah dan bangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah, ditentukan dalam pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 huruf b PP No. 71 Tahun 2008. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa  Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana untuk pengalihan atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dari nilai yang ditetapkan oleh pejabat yang bersangkutan.

3.   Bea Perolehan Hak katas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Disamping itu, BPHTB juga diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah  pada pasal 85 s.d. 93.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas  perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.[11]  Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan atau dengan kata lain adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik itu badan mapupun orang pribadi.[12] Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak akan menjadi wajib pajak. Sedangkan Obyek BPHTB adalah  perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru Perolehan hak tersebut, yang meliputi : [13]
a. Pemindahan hak
1)         Jual beli,
2)         Tukar menukar,
3)         Hibah yaitu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,
4)         Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setalah pemberi hibah meninggal dunia,
5)         Waris yaitu pengalihan hak yang dilakukan terhadap tanah dan atau bangunan dalam garis keturunan lurus,
6)         Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau kepada badan hukum lainnya,
7)         Pemisahan yang menyebabkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama  atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama,
8)         Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut,
9)         Penunjukkan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang,
10)      Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan  berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung,
11)      Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut,
12)      Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu usaha menjadi dua usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa likuidasi badan usaha yang lama,
13)      Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru.
1)      Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak,
2)      Diluar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).[14] Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal :[15]
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hokum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.   pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.   pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.   peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah
Jika harga tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan maka Dasar Pengenaan Pajak DPP yang dipakai adalah NJOP.[16]
Pasal 7 UU  NO. 21 Tahun 1997 menyatakan bahwa  pemerintah menentukan suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besarnya NPOPTKP adalah paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 untuk setiap wajib pajak.[17] Kemudian untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000,00. [18]
Tarif BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 88 disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berdasarkan pasal 85 ayat 4 huruf b UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa Objek pajak yang tidak dikenakan  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh negara   untuk   penyelenggaraan   pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.

IV.    Penutup
Pengenaan Pajak atas Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, diatur secara terpisah-pisah dalam berbagai perturan perundang-undangan. Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum oleh instansi pemerintah wajib dikenakan PPN, hal ini seturut pasal 4 UU No.42 Tahun 2009 dimana Pengadaan Tanah  untuk kepentingan umum tidak termasuk dalam golongan yang dikecualikan untuk dikenakan PPN. Tarif dalam pengenaan PPN tersebut adalah adalah tarif tunggal yaitu 10% (sepuluh persen). 
Atas Pajak penghasilan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dikenakan PPh  dengan beberapa pengecualian. Pengecualian tersebut adalah :
1.      Pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. Persyaratan khusus tersebut adalah jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2.      Kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah Penghasilan Tidak Kena pajak (PTKP), yaitu  Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP  yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp.  60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.[19]
Tarif atas Pajak penghasilan pengalihan hak atas tanah dan bangunan menurut pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 huruf b PP No. 71 Tahun 2008 adalah  5% (lima persen) dari nilai yang ditetapkan oleh pejabat yang bersangkutan.
Atas BPHTB, pasal 85 ayat 4 huruf b UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa Objek pajak yang tidak dikenakan  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh negara untuk   penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.


[1] Perpres No. 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 1 ayat 7
[2] Ibid, Pasal 1 ayat 2
[3]  Undang Undang No. 42 Tahun 2009 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pasal 4
[4]  Undang Undang No. 36 tahun 2008 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 4
[5] Undang Undang  No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah  Diubah Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008 Pasal 1
[6] Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya
[7] Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1994 Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Pasal 3 Ayat 1
[8] Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2008 Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan pasal 5 huruf b
[9] Ibid, penjelasan Pasal 5 huruf b
[10] Ibid, Pasal 5 huruf b
[11] undang Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 1 Ayat 41
[12] Ibid, Pasal 85 ayat 1
[13] Undang Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Pasal 2 ayat
[14] Undang Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 87 Ayat 1
[15] Ibid, Pasal 87 ayat 2
[16] Ibid, Pasal 87 ayat 3
[17] Ibid, Pasal 87 ayat 4
[18] Ibid, Pasal 87 ayat 5
[19] Ibid, Pasal 5 huruf b

Comments

Popular posts from this blog

Pembayaran Pekerjaan Fisik Melewati Tahun Anggaran Pada Pemerintah Daerah